16 Juni 2025

LEWAT GALA PREMIERENYA “SYIRIK: DANYANG LAUT SELATAN” MEMBUKTIKAN CERITA SPEKTAKULER BERTAJUK BUDAYA LOKAL

Sebuah Malam Mistis yang Membuka Layar Budaya dan Horor Spiritual Indonesia

Jakarta, 16 Juni 2025 — Lobi utama XXI Epicentrum malam ini berubah menjadi ruang lintas dimensi: antara dunia nyata dan gaib, antara kearifan lokal dan teror spiritual. Inilah malam Gala Premiere “Syirik: Danyang Laut Selatan”, film terbaru besutan Ganesa Films yang disutradarai oleh Hestu Saputra dan diproduseri oleh Chandir Bhagwandas. Satu malam yang menjadi selebrasi sekaligus penanda kembalinya horor bernarasi mendalam ke layar lebar Indonesia.

Dengan karpet merah yang disesaki bintang pemain, awak media, tamu undangan baik umum maupun artis papan atas ibukota, hingga pegiat budaya. Atmosfer malam itu tak sekadar meriah, tapi juga mengandung aura sakral. Tidak berlebihan, sebab film ini bukan sekadar horor, melainkan sebuah tafsir sinematik tentang benturan antara iman dan kegelapan—di mana mitos lokal menjadi fondasi naratif yang kuat.

Horor sebagai Media Dialog Budaya

Dalam sambutannya, Hestu Saputra menyatakan bahwa “Syirik” hadir bukan untuk sekadar menakut-nakuti, tetapi untuk membangun kembali koneksi penonton urban terhadap warisan spiritual yang lama terpinggirkan. “Ini adalah film tentang konsekuensi dari pilihan moral, tentang batas kabur antara adat, keyakinan, dan penyimpangan,” ujarnya.

Film ini menyoroti kisah Said (Teuku Rassya), seorang santri muda yang kembali ke desa dan mendapati kampung halamannya telah tenggelam dalam praktik mistik sesat. Cintanya kepada Sari (Richelle Georgette Skornicki) terperangkap dalam intrik kekuasaan dan ritual kuno yang menuntut tumbal manusia. Tokoh Ki Dalang (Donny Alamsyah), sebagai antagonis utama, menyimpan obsesi gelap terhadap kekuatan gaib, menjadikan konflik dalam film ini tak hanya supranatural, tapi juga politis dan eksistensial.

Deretan Aktor dengan Performa Transformatif

Tepuk tangan meriah meledak saat para pemeran utama diperkenalkan satu per satu. Richelle Skornicki, yang untuk pertama kalinya mengemban peran utama dalam film horor, tampil anggun namun sarat emosi dalam membawakan karakter Sari. Teuku Rassya memperlihatkan sisi matang dalam perannya sebagai santri yang dilanda badai batin dan moral.

Performa Donny Alamsyah sebagai Ki Dalang dipuji banyak penonton sebagai “hipnotik dan menakutkan”.


Sementara Kinaryosih yang memerankan Santika, ibu dari Said, mengisi ruang dramatis dengan nuansa religius dan keibuan yang kuat. Kemunculan Nikita Mirzani sebagai Ningsih pun menjadi bahan pembicaraan tersendiri—dengan performa yang lebih subtil dan emosional dibanding citranya di media.

Sinema, Ritus, dan Imaji Visual

Disambut dengan standing ovation usai pemutaran terbatas, film ini berhasil mengikat penonton melalui pendekatan visual yang autentik dan atmosferik. Lanskap pedesaan yang disorot dengan kamera tenang namun penuh tekanan, menciptakan kesan bahwa alam pun turut menyimpan rahasia.

Kredit khusus patut diberikan pada tim tata artistik dan penata sinematografi, yang sukses membingkai unsur-unsur budaya Jawa—seperti ritual sesajen, wayang, hingga pemujaan danyang—dalam pencahayaan yang tak melulu gelap, tetapi magis dan kontemplatif.

Kesan spiritual dalam film ini begitu kuat karena Hestu Saputra tampak tak ingin membuat horor yang generik. “Syirik” adalah horor yang berkontemplasi, dengan nada filosofis tentang kuasa manusia terhadap alam, kekuasaan, dan iman.

Penonton dan Industri Menyambut Hangat

Dalam sesi temu media, produser Chandir Bhagwandas menekankan bahwa proyek ini merupakan bagian dari visi Ganesa Films untuk mengangkat genre yang menyentuh akar lokal namun tetap memiliki daya tarik universal. “Kami percaya horor tidak harus selalu seragam. Budaya kita sangat kaya untuk dieksplorasi,” ujarnya.

Acara gala ini juga dihadiri oleh beberapa tokoh perfilman nasional, budayawan, hingga pengamat spiritual. Banyak yang menyebut “Syirik: Danyang Laut Selatan” sebagai titik balik genre horor Indonesia ke arah yang lebih substantif dan kontekstual.

Menuju Penayangan Nasional

Dengan penayangan serentak yang dijadwalkan mulai 19 Juni 2025, film ini diharapkan mampu menggugah kembali minat penonton terhadap horor yang berakar pada kearifan lokal. Tidak hanya sebagai tontonan, tetapi sebagai cermin atas problematika masyarakat yang sering kali dilupakan: antara tradisi, keyakinan, dan kekuasaan.


“Syirik: Danyang Laut Selatan” telah membuka gerbangnya, dan malam gala ini menjadi saksi bahwa film horor Indonesia siap menantang ulang persepsi—bukan hanya tentang rasa takut, tapi juga tentang apa yang kita percayai sebagai benar.



0 comments:

Posting Komentar