This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

25 April 2025

ULASAN FILM "SAH KATANYA"

 

ULASAN FILM: SAH KATANYA

Produksi: MVP Pictures & Kebon Studio
Sutradara: Loeloe Hendra
Penulis: Sidharta Tata, Dirmawan Hatta, Loeloe Hendra
Pemeran: Nadya Arina, Dimas Anggara, Calvin Jeremy, Della Dartyan, M. N. Qomaruddin, Rahmet Ababil, Landung Simatupang, dan lainnya


SINOPSIS

Dalam Sah Katanya, kita diajak masuk ke dalam dunia Marni (Nadya Arina), seorang perempuan muda yang baru saja kehilangan ayahnya secara mendadak. Namun duka itu belum selesai ketika ia mendapati sebuah permintaan terakhir yang mengejutkan—ia harus menikah di depan jenazah sang ayah dengan lelaki yang telah dipilihkan sebelumnya, Marno (Dimas Anggara). Wasiat itu bukan sekadar simbol tradisi, tetapi satu-satunya jalan menyelamatkan keluarganya dari jerat utang yang besar.

Di tengah tekanan batin, Marni dihadapkan pada pilihan yang mustahil: tetap bersama Adi (Calvin Jeremy), cinta sejatinya, atau berbakti pada ayah dan mempertaruhkan seluruh arah hidupnya demi keluarga. Sebuah keputusan yang memaksa penonton ikut bertanya: antara cinta, kewajiban, dan warisan nilai-nilai, mana yang layak diperjuangkan?


CERITA & NASKAH

Plot Sah Katanya berdiri di atas fondasi yang kuat: konflik klasik antara cinta dan kewajiban, namun disajikan dalam konteks budaya lokal yang khas dan penuh nuansa. Naskahnya tidak hanya berani, tetapi juga cermat—menyentuh ranah moral, tradisi, dan tekanan keluarga tanpa menjadi melodramatis.

Penulis—Sidharta Tata, Dirmawan Hatta, dan Loeloe Hendra—membawa isu besar dengan pendekatan yang intim. Konflik tidak digambarkan sebagai benturan hitam-putih, melainkan abu-abu, kompleks, dan manusiawi. Dialog-dialognya bernas, emosional tanpa kehilangan logika, serta kuat secara simbolik terutama dalam adegan-adegan kunci.


PENYUTRADARAAN

Loeloe Hendra berhasil mengendalikan atmosfer film dengan gaya yang tenang tapi menghantui. Ia memilih untuk tidak membesar-besarkan emosi, namun membiarkannya mengendap lewat ekspresi, gerak tubuh, dan sunyi yang berbicara. Pilihan ritme lambat di beberapa bagian mungkin terasa seperti menguji kesabaran, namun sebetulnya justru memperkuat kesan “tercekik” yang dialami karakter utamanya.

Transisi visual dan tone emosional terasa konsisten, dan ini menunjukkan kematangan dalam penyutradaraan.


AKTING & ANALISIS KARAKTER

Nadya Arina memberikan performa yang sangat kuat sebagai Marni. Ia menampilkan spektrum emosi dengan intensitas terukur, dari kepedihan kehilangan hingga kegamangan antara menyerah atau melawan. Dalam sorot mata dan gestur tubuhnya, kita bisa merasakan seorang perempuan muda yang tertindih oleh keputusan orang lain.

Dimas Anggara sebagai Marno tampil tidak seperti biasanya—lebih pendiam, kaku, namun menyimpan kedalaman, membuat karakternya menjadi teka-teki moral. Sementara Calvin Jeremy sebagai Adi menjadi lambang dari pilihan yang (seolah) lebih mudah tapi tidak realistis, dan ia bermain dengan sangat empatik.

Pemeran pendukung seperti Della Dartyan dan Landung Simatupang turut menambah lapisan emosional film ini dengan sangat solid. Tidak ada karakter yang hadir sebagai tempelan; semuanya berkontribusi pada narasi besar.


SINEMATOGRAFI & TATA ARTISTIK

Visual dalam Sah Katanya memainkan simbolisme dengan apik. Penggunaan warna-warna dingin dan ruang-ruang sempit mempertegas kesan terkurung yang dialami Marni. Kamera cenderung diam, memberi ruang bagi aktor untuk “bernapas” dan menyampaikan narasi secara visual.

Ada beberapa shot yang terasa seperti lukisan—hening tapi penuh tekanan. Pengambilan gambar di sekitar rumah duka hingga ruang pernikahan mendadak memberikan rasa absurd dan tragis yang kuat.


SKOR MUSIK & TATA SUARA

Musik pengiring dalam film ini tidak mendominasi, namun hadir sebagai perasaan latar yang merembes pelan ke bawah kulit. Skoringnya subtil, kadang hanya suara ambient yang memperkuat kehampaan. Tidak banyak musik yang ‘menggiring’ emosi penonton, justru memberi ruang untuk interpretasi personal.

Tata suara juga jernih dan efektif, terutama saat menghadirkan nuansa rumah, malam, dan suasana duka yang menegangkan tapi sunyi.


WARDROBE & PENATAAN BUSANA

Pakaian para karakter terasa autentik, sesuai latar sosial keluarga Marni dan Marno. Tak ada yang berlebihan, justru kekuatan terletak pada kesederhanaan. Gaun pengantin Marni—yang dikenakan dalam momen paling absurd dalam film—menjadi simbol ironis dari janji yang tidak diinginkan, dan kostum ini diolah secara estetis tanpa perlu dramatisasi.


TEMA & RELEVANSI SOSIAL

Sah Katanya adalah komentar tajam tentang bagaimana warisan budaya, tradisi, dan hutang keluarga bisa membelenggu seseorang, terutama perempuan, dalam sistem sosial patriarkis. Film ini bukan sekadar kisah cinta yang kandas, tetapi juga kritik sosial tentang pemaksaan kehendak dalam balutan “wasiat” dan “bakti”.

Film ini mengundang diskusi tentang batas antara menghormati orang tua dan memperjuangkan kendali atas hidup sendiri. Tema ini terasa relevan, khususnya bagi generasi muda yang masih harus bernegosiasi antara modernitas dan tradisi.


KESIMPULAN

Sah Katanya adalah drama sosial yang berani dan emosional, dengan pendekatan sinematik yang tenang namun menghujam. Ia menyampaikan pesan yang kuat tentang cinta, pengorbanan, dan kendali atas hidup sendiri—dengan cara yang puitis tapi tetap membumi.

Dengan penyutradaraan yang rapi, akting yang solid, serta naskah yang penuh refleksi, film ini menawarkan lebih dari sekadar cerita sedih. Ia mengajak penonton berpikir ulang tentang “restu” dan “takdir” dalam ranah rumah tangga dan budaya.


NILAI AKHIR

Aspek    Penilaian
Cerita & Naskah    8.8
Penyutradaraan    9.0
Akting & Karakter    8.9
Sinematografi & Artistik    8.7
Musik & Tata Suara    8.5
Tema & Pesan Sosial    9.2
Total Rata-rata    8.85 / 10

24 April 2025

OFFICIAL TRAILER "WAKTU MAGHRIB 2" RESMI DIRILIS, TEROR MAGIS DARI SENJA KEMBALI MENGINTAI

 

Rapi Films bersama Sky Media, Legacy Pictures, Rhaya Flicks, dan Kebon Studio resmi merilis trailer perdana film horor terbaru mereka, WAKTU MAGHRIB 2. Setelah kesuksesan film pertamanya yang berhasil mengguncang jagat perfilman horor tanah air, sekuel ini menjanjikan intensitas teror yang lebih mencekam, dengan sentuhan mitos lokal yang semakin gelap.

Disutradarai oleh Sidharta Tata, yang kembali memegang kendali setelah keberhasilan film pertamanya, WAKTU MAGHRIB 2 diproduseri oleh Gope T. Samtani—salah satu produser legendaris di industri film Indonesia. Film ini menghadirkan deretan pemeran muda berbakat hingga aktor kawakan, antara lain Omar Daniel, Anantya Rezky Kirana, Sulthan Hamonangan, Ghazi Alhabsy, dan Muzakki Ramdhan, serta turut dibintangi oleh Sadana Agung, Nopek, Fita Anggriani, Bagas Pratama Saputra, Maychelina Anis, Bonifasius Jose Mariano, dan Buyung Ispramadi.

UMBARA BROTHERS FILM RESMI LUNCURKAN OFFICIAL POSTER DAN TRAILER FILM "GUNDIK"

 

Jakarta, 23 April 2025 — Suasana Rabu sore di XXI City Plaza Jatinegara berubah penuh antusias ketika Umbara Brothers Film resmi merilis official poster dan trailer dari film terbaru mereka yang berjudul GUNDIK. Sebuah karya kolaboratif yang menggandeng Makara Production, 786 Production, RUMPI Entertainment, dan Role Entertainment, film ini menjanjikan drama historis dengan atmosfer emosional yang intens dan sinematik.

Disutradarai oleh sineas visioner Anggy Umbara, yang juga duduk sebagai produser bersama Indah Destriana, Shankar RS, dan Mohit NV, GUNDIK menghadirkan cerita yang menggali sisi gelap dari kekuasaan dan hubungan terlarang di tengah gejolak zaman.

ULASAN FILM MUSLIHAT

 

Judul: MUSLIHAT

Produksi: IM Pictures
Produser: Raden Brotoseno, Tata Janeeta, Budi Setiaji Susilo, Bugie
Penulis Skenario: Evelyn Afnilia
Sutradara: Chairun Nissa
Pemeran Utama: Asmara Abigail, Edward Akbar, Tata Janeeta, Ajeng Giona, Ence Bagus, Fatih Unru, Keanu Azka, Athar Barakbah, dkk.


Sinopsis

MUSLIHAT membuka tirai pada konflik interpersonal dalam sebuah keluarga besar yang terjebak dalam labirin warisan, rahasia masa lalu, dan ambisi pribadi. Ketika tokoh sentral, seorang perempuan karismatik dengan masa lalu kelam (diperankan Asmara Abigail), pulang kampung untuk menghadiri peringatan kematian ayahnya, berbagai lapis konflik mulai terkuak—dari kecemburuan saudara, skandal lama, hingga permainan politik internal yang mengejutkan. Film ini menjelajahi batas antara kebenaran dan rekayasa dalam hubungan manusia.


Cerita & Naskah

Evelyn Afnilia membingkai kisah ini dengan lapisan dramatik yang dibangun perlahan namun menghantui. Ia tidak hanya menghadirkan narasi, melainkan mengajak penonton mengupas satu per satu "muslihat" yang tersimpan rapi dalam dialog-dialog tajam dan dinamika antarkarakter yang intens. Naskahnya menolak simplifikasi moral. Setiap karakter memiliki kepentingan, setiap tindakan punya konsekuensi, dan tidak ada yang benar-benar polos ataupun jahat. Ini menjadikan MUSLIHAT lebih dari sekadar drama keluarga—ia menjelma menjadi refleksi kompleksitas manusia itu sendiri.


Penyutradaraan

Chairun Nissa menunjukkan kendali penyutradaraan yang matang. Ia memahami betul tempo emosional yang dibutuhkan film ini—ia tidak tergesa dalam menyampaikan informasi, tapi juga tidak membiarkan ketegangan meredup. Nissa memaksimalkan potensi ruang dan momen senyap untuk membangun suasana yang mendesak. Perpindahan antar adegan terasa organik dan penuh intensi, menunjukkan penataan dramaturgi yang solid dan penuh kehati-hatian.


Akting

Asmara Abigail kembali membuktikan kelasnya. Karakter yang ia mainkan kompleks—rentan, keras kepala, sekaligus penuh pesona manipulatif. Edward Akbar dan Tata Janeeta memberikan kontras menarik sebagai dua kutub karakter yang sama-sama memendam luka lama. Fatih Unru dan Keanu Azka menjadi representasi generasi muda yang terjebak dalam konflik para pendahulu mereka—penampilan mereka menyuntikkan vitalitas pada narasi yang dominan kelam. Ensemble cast-nya seimbang, masing-masing aktor memiliki momen kuat tersendiri, baik dalam adegan dialog maupun gestur-gestur tak bersuara.


Analisis Karakter

Setiap tokoh dalam MUSLIHAT hadir sebagai lapisan puzzle yang perlahan saling mengisi. Evelyn Afnilia tidak menulis karakter hanya sebagai penjalin cerita, melainkan sebagai dunia tersendiri. Hubungan antar karakter dibentuk dari trauma kolektif yang tak diungkapkan secara verbal, tetapi dibaca melalui sikap, reaksi, dan bahkan diam. Karakter utama bukanlah pahlawan, melainkan cermin dari keputusan yang gagal disesali dan cinta yang tak tersampaikan.


Tata Artistik & Sinematografi

Tata artistik film ini sangat memperhitungkan simbolisme. Ruang-ruang dalam rumah tua tempat sebagian besar konflik berlangsung bukan sekadar latar, tetapi metafora hidup—gelap, sempit, penuh barang-barang lama yang menjadi saksi bisu kebusukan relasi keluarga. Sinematografi dari kamera statis hingga gerak lambat dibalut dengan palet warna kusam, menunjukkan beban sejarah yang menindih tiap adegan. Beberapa komposisi gambar layak disejajarkan dengan lukisan renaisans—penuh emosi dan cerita dalam setiap frame.


Musik Skoring & Tata Suara

Musik latar MUSLIHAT bekerja subtil namun efektif, dengan dominasi instrumen gesek dan pukul rendah yang menciptakan atmosfer gelisah tanpa harus dramatis berlebihan. Skoringnya tidak hanya memperkuat emosi, tetapi juga menambah lapisan interpretatif atas narasi. Tata suara juga dieksekusi secara presisi; momen-momen keheningan kadang lebih menegangkan daripada teriakan, menunjukkan bagaimana desain suara film ini berpihak pada pengalaman psikis penonton.


Wardrobe / Outfit

Kostum dalam MUSLIHAT tidak berteriak untuk dikenali, tetapi menyatu dengan karakter. Setiap pakaian mencerminkan status sosial, kondisi psikologis, dan bahkan perkembangan naratif karakter tersebut. Desain wardrobe-nya memperkuat setting dan tone film tanpa kehilangan fungsinya sebagai penanda identitas tokoh—sebuah keseimbangan yang tidak mudah dicapai.


Tema & Relevansi Sosial

MUSLIHAT bukan hanya drama keluarga. Ia adalah kritik sosial terhadap bagaimana trauma generasi bisa diwariskan secara tidak sadar. Tema warisan, kesetaraan gender dalam ruang keluarga patriarkal, dan manipulasi dalam hubungan darah menjadi pokok utama. Di tengah meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental dan rekonsiliasi emosional antar generasi, film ini hadir sangat relevan dan kontemporer.


Kesimpulan

MUSLIHAT adalah drama yang cerdas, tajam, dan memikat secara emosional. Dengan penulisan yang matang, penyutradaraan presisi, dan penampilan akting yang menyentuh, film ini berhasil menjelma menjadi potret kelam keluarga Indonesia dengan lensa humanistik yang dalam. Ia bukan tontonan yang ringan, tapi justru karena itulah ia penting. Film ini mengajak kita menelisik bukan hanya apa yang terlihat, tapi apa yang selama ini disembunyikan.


Nilai Akhir: 8 / 10

Film ini layak mendapat tempat di ranah sinema nasional yang mengedepankan kualitas naratif dan kekuatan sinematik. Sebuah karya yang pantas diperbincangkan, ditonton ulang, dan direnungi.

FILM “MENDADAK DANGDUT”: SEBUAH HARMONI CERITA, KOMEDI, DAN WARISAN MUSIK INDONESIA

 

Foto Saat Press Conference. Doc by Serba Film

Jakarta, 22 April 2025 — Industri film Tanah Air kembali diramaikan oleh sebuah karya layar lebar yang mengusung semangat musik lokal sebagai identitas budaya: Mendadak Dangdut. Pada hari Senin, 22 April 2025, Sinemart berkolaborasi dengan Amadeus Sinemagna menggelar konferensi pers dan pemutaran perdana film ini di XXI Epicentrum, Jakarta. Acara ini dipadati oleh para insan perfilman, jurnalis, serta tamu undangan yang turut menyambut kehadiran para pemain dan tim produksi dengan antusiasme tinggi.

Di tengah suasana yang penuh tawa dan tepuk tangan, para pemeran utama seperti Anya Geraldine, Keanu Angelo, Aisha Nurra Datau, hingga Wika Salim tampil menyapa publik. Sutradara Monty Tiwa bersama para produser — Mgs Fahry Fachrudin dan Wendhy Antono — serta jajaran eksekutif produser yang terdiri dari Sutanto Hartono, David Setiawan Suwarto, Indra Yudhistira, dan Morin Chandra, juga hadir memberikan pandangan mereka tentang proses kreatif dan visi besar film ini.


PRESS CONFERENCE "SAH KATANYA": NARASI PATAH HATI, WASIAT TAK TERDUGA, DAN CINTA YANG TERUJI

Foto Saat Press Conference. Doc by Serba Film
 

Jakarta, 16 April 2025, XXI Epicentrum — Suasana penuh rasa ingin tahu dan ketegangan emosional terasa di sesi konferensi pers film terbaru besutan MVP Pictures dan Kebon Studio, SAH KATANYA. Acara ini menjadi momen penting bagi insan perfilman, menandai kolaborasi sinematik yang melibatkan sejumlah nama besar di balik layar maupun para pemeran utama.

Diproduseri oleh Raam Punjabi dan Albert, serta dikawal oleh Anita Whora sebagai eksekutif produser, film ini merupakan karya garapan sutradara Loeloe Hendra yang juga berperan sebagai salah satu penulis naskah bersama Sidharta Tata dan Dirmawan Hatta. Di hadapan awak media, mereka memperkenalkan film yang akan hadir dengan konflik emosional intens yang berpijak pada persoalan cinta, loyalitas, dan harga diri.

Jalan Cerita: Di Antara Cinta dan Amanah

SAH KATANYA membuka kisahnya dengan tragedi: Marni (diperankan oleh Nadya Arina) sedang berduka atas wafatnya sang ayah. Namun duka itu berubah menjadi keterkejutan ketika ia menemukan permintaan terakhir ayahnya—menikah dengan Marno (Dimas Anggara), pria pilihan ayahnya, tepat di hadapan jenazah.

Kondisi ini membuat Marni terjebak dalam dilema sulit. Di satu sisi, ada cinta yang telah lama tumbuh bersama Adi (Calvin Jeremy), namun di sisi lain, ada tanggung jawab besar untuk menyelamatkan keluarganya dari utang besar jika wasiat itu tak dijalankan.

Pendalaman Karakter dan Tantangan Emosional

Nadya Arina menjelaskan bagaimana perannya sebagai Marni menuntut eksplorasi emosional yang dalam dan tidak biasa. "Ini bukan sekadar cerita cinta biasa. Ada lapisan psikologis yang harus saya pahami dan hayati," ungkapnya.

Dimas Anggara juga menyoroti kompleksitas tokoh Marno yang tidak hitam-putih. Sementara Calvin Jeremy mengaku bahwa tokoh Adi merefleksikan suara banyak orang yang merasa kehilangan karena harus berhadapan dengan keputusan di luar logika cinta.

Loeloe Hendra menyampaikan bahwa sebagai sutradara, ia ingin mengangkat nilai-nilai moral dari sudut yang lebih manusiawi. “Film ini menggugah, karena berbicara tentang batas antara kehendak pribadi dan pengorbanan demi keluarga,” jelasnya.

Kesiapan Rilis dan Harapan

Dengan jajaran pemain pendukung seperti M. N. Qomaruddin, Rahmet Ababil, Della Dartyan, hingga Landung Simatupang dan Hargi Sundari, SAH KATANYA diyakini memiliki kekuatan ensemble yang mampu membangun atmosfer dramatik yang solid.

Film ini akan mulai tayang secara nasional pada 24 April 2025, dan menjadi harapan baru dari MVP Pictures untuk mempersembahkan karya sinema yang mampu menyentuh relung emosi penonton sekaligus menggugah refleksi sosial.

"PERANG KOTA": SEBUAH MOZAIK CINTA, PERLAWANAN, DAN LUKA DI TENGAH JAKARTA 1946

 

FOTO PRESS CONFERENCE PERANG KOTA. Doc by Serba Film

Jakarta, 21 April 2025 — Sebuah karya sinematik bertaraf internasional resmi diperkenalkan kepada publik dalam sesi Press Conference yang digelar di Epicentrum XXI, Jakarta. Film bertajuk Perang Kota, buah karya sutradara Mouly Surya—yang telah dua kali memenangkan Piala Citra sebagai Sutradara Terbaik—siap menyapa penonton di layar lebar mulai 30 April 2025.

Disokong oleh kolaborasi multinasional antara Cinesurya Pictures, Starvision Plus, dan Kaninga Pictures bersama sejumlah rumah produksi dari Asia hingga Eropa, Perang Kota diadaptasi dari novel legendaris karya Mochtar Lubis Jalan Tak Ada Ujung. Film ini mengusung kisah yang menyatukan gejolak asmara, idealisme perjuangan, serta konsekuensi moral dalam satu lanskap historis yang mendebarkan: Jakarta tahun 1946.


Rekonstruksi Jakarta dalam Bayang-Bayang Invasi

Lewat lensa Perang Kota, Mouly Surya mengajak penonton menembus kabut waktu menuju ibu kota yang belum lama merdeka, namun sudah kembali diguncang oleh upaya rekolonialisasi. Atmosfer pasca-kemerdekaan yang porak-poranda digambarkan dalam fragmen-fragmen kehidupan masyarakat yang tetap harus bertahan, di tengah pertempuran gerilya dan tekanan militer Sekutu.

Pencapaian visual dari sinematografer Roy Lolang disuguhkan melalui format rasio 4:3 yang khas dan mengikat, menghadirkan komposisi gambar yang intim, klasik, namun sarat emosi. Warna-warna kontras memperkuat kesan melankolis Jakarta tempo dulu yang penuh ketegangan.


Pergulatan Emosi dalam Cinta Segitiga

Di pusat kisah ini, bergulir dinamika emosional antara tiga tokoh utama: Isa (Chicco Jerikho), seorang guru yang juga pejuang, Fatimah (Ariel Tatum), istrinya yang terbelenggu batin, serta Hazil (Jerome Kurnia), rekan perjuangan Isa yang secara diam-diam menjalin hubungan intim dengan Fatimah.

Isa, dengan latar luka psikologis yang belum sembuh, menjadi simbol figur laki-laki yang rapuh dalam relasi domestik, namun tetap teguh dalam perjuangan nasional. Sementara Fatimah digambarkan tidak sekadar sebagai istri yang tergoda, melainkan sebagai perempuan dengan kompleksitas psikologis dan kekuatan bertahan luar biasa di tengah gejolak.


21 April 2025

OFFICIAL TRAILER: “MUNGKIN KITA PERLU WAKTU” – RANA LUKA YANG MEMILIH DIAM

 

Oleh : FilmLokal.id

Jakarta, 18 April 2025 — Film terbaru garapan sutradara Teddy Soeriaatmadja, MUNGKIN KITA PERLU WAKTU, resmi merilis official trailer yang mengangkat tema besar tentang luka keluarga yang tak terucap. Melalui gambar-gambar yang tenang namun penuh tekanan emosional, trailer ini membuka ruang refleksi tentang bagaimana sebuah keluarga bisa hidup dalam satu atap, namun terpisah oleh sekat-sekat rasa bersalah dan kehilangan yang tidak pernah diselesaikan.

20 April 2025

GALA PREMIERE “ANAK MEDAN COCOK KO RASA”: SELEBRASI CINTA, PERSAHABATAN, DAN IMPIAN DARI TANAH DELI

 

Jakarta, 17 April 2025, XXI Epicentrum — Gemerlap lampu dan antusiasme penonton meramaikan gala premiere film Anak Medan Cocok Ko Rasa yang digelar di Jakarta malam ini. Film bergenre drama-komedi garapan PIM Pictures bersama Dayu Pictures, Dynamic Pictures, dan Layar Production ini secara resmi diperkenalkan kepada publik sebelum tayang serentak di bioskop seluruh Indonesia mulai 24 April 2025.

Disutradarai oleh Ivan Bandhito dan diproduseri oleh Agustinus Sitorus, film ini menawarkan narasi yang menyentuh dan menghibur tentang perjalanan empat sahabat dari Medan—Ucok, Joko, Rafly, dan Chisa—yang terpisah oleh waktu dan tragedi, namun disatukan kembali oleh nostalgia dan takdir. Diperankan oleh Maell Lee, Ajil Ditto, Ady Sky, Mario Maulana Hazar, serta aktris pendukung seperti Amara Sophie Rhemaesthita, Maria Simorangkir, dan Lina Marpaung, film ini membungkus drama kehidupan muda-mudi dalam nuansa kekeluargaan khas Medan.

Anak Medan Cocok Ko Rasa bukan hanya soal nostalgia, tetapi juga tentang bagaimana kita menavigasi harapan, rindu, dan kenyataan hidup,” ujar Agustinus Sitorus, produser film ini, dalam sesi wawancara di karpet merah. Ia menambahkan bahwa keunikan kota Medan—dengan latar sosial dan budayanya yang kaya—menjadi representasi sempurna dari berbagai konflik batin yang kerap dialami generasi muda.

Dalam film ini, setiap karakter membawa lapisan emosi yang mencerminkan realitas: impian yang dikorbankan demi ekspektasi keluarga, perpisahan yang menyakitkan, dan pengkhianatan yang diam-diam membekas. Namun alih-alih menenggelamkan penonton dalam melodrama, Anak Medan Cocok Ko Rasa justru menyajikannya dengan balutan humor lokal yang segar—membuat pesan-pesan moralnya terasa ringan, namun membekas.

Sutradara Ivan Bandhito menyampaikan bahwa proses syuting di Medan menjadi pengalaman istimewa yang memperkaya narasi. “Kota ini punya denyut yang kuat. Kami ingin menunjukkan Medan tidak dari sisi klise, tapi dari wajah aslinya—penuh harapan, konflik, dan semangat juang,” ungkapnya.

Maell Lee, pemeran Ucok, menyatakan keterikatannya secara emosional dengan peran tersebut. “Saya dan Ucok punya cerita yang mirip. Sama-sama berangkat dari Medan, merantau ke Jakarta demi mimpi. Emosi dalam peran ini terasa sangat personal buat saya,” tuturnya. Sementara itu, Ajil Ditto yang memerankan Rafly mengungkapkan bahwa kembali ke Medan untuk syuting serasa seperti pulang ke akar. “Kota ini adalah rumah saya. Chemistry kami para pemain terbentuk secara organik karena kami memang sudah klik sejak awal,” ujarnya.

Kehangatan dan dinamika antar tokoh menjadi kekuatan utama film ini. Penonton diajak tidak hanya mengikuti kisah yang menyentuh, tapi juga melihat refleksi dari pengalaman hidup sendiri—tentang merantau, kegagalan, harapan yang hampir padam, dan keajaiban yang datang ketika kita sudah belajar menerima.

Film ini pada akhirnya mengajak kita merenungkan: sejauh apa pun kita melangkah, impian dan persahabatan sejati tak akan pernah hilang arah. Ada tawa, ada tangis, ada pelukan yang menyambut pulang.


🎬 Anak Medan Cocok Ko Rasa akan hadir di layar lebar mulai 24 April 2025. Jangan lewatkan film yang bukan sekadar hiburan, tetapi juga ruang untuk mengenang, menerima, dan tertawa bersama.
Ikuti terus kabar terbarunya di akun resmi Instagram: @filmanakmedan_official


PRESS CONFERENCE “MANGKU POCONG”: TEROR PESUGIHAN DIBALIK CITARASA MASAKAN WARUNG LEGENDARIS

Foto Saat Press Conference. Sources by : Serba Film

Jakarta, 17 April 2025 – Satu lagi film horor lokal siap mengguncang layar lebar Indonesia. Bertajuk Mangku Pocong, film ini secara resmi diperkenalkan kepada publik melalui konferensi pers yang digelar di Jakarta, menandai dimulainya perjalanan promosi menuju penayangan nasional pada 24 April 2025.

Dibalik atmosfer mistis yang diangkat, Mangku Pocong merupakan hasil kolaborasi antara Virgo Putra Film dan RUMPI Entertainment, dengan Ferry Angriawan duduk di kursi produser, sementara Chiska Doppert bertanggung jawab penuh sebagai sutradara. Penulisan naskah dipercayakan pada Vidya T. Ariestya, yang mengemas kisah ini dengan balutan drama keluarga yang sarat konflik dan kejutan supranatural.


Cerita Keluarga, Dendam, dan Warung yang Dikutuk

Mangku Pocong menyajikan narasi yang menukik ke dalam relung psikologis sebuah keluarga yang dilanda trauma masa lalu dan warisan kelam. Cerita berpusat pada Hendri (diperankan oleh Jefan Nathanio) dan adiknya Nurul (Ajeng Fauziah) yang pulang kampung setelah sang ayah, Pak Mardi (Indra Pacique), wafat dalam kondisi mengenaskan.

Pak Mardi semasa hidup dikenal sebagai pemilik warung makan yang masakannya melegenda. Namun setelah kepergiannya, warung yang dulu ramai kini menyisakan aroma misteri. Hendri yang mencoba menghidupkan kembali usaha sang ayah justru menemukan kenyataan pahit: masakannya dicibir, pelanggan menjauh, dan teror makhluk gaib berupa pocong mulai muncul di sekelilingnya.

Ketegangan semakin membuncah saat Nurul menghilang tanpa jejak. Hendri pun dipaksa menyelami rahasia kelam keluarga—sebuah praktik pesugihan yang konon diwariskan secara turun-temurun demi kejayaan usaha. Teror tak hanya datang dari dunia gaib, tapi juga dari tekanan batin dan loyalitas keluarga yang tercabik-cabik.


Deretan Pemeran dan Pengalaman Mistis

Menguatkan atmosfer film, Mangku Pocong menghadirkan barisan aktor dan aktris yang telah dikenal di layar lebar. Samuel Rizal memerankan Yahya, sahabat dekat Pak Mardi yang memegang banyak kunci cerita. Wanda Hamidah sebagai Bu Isti—istri Pak Mardi—menjadi sosok ibu yang tersekap dalam pilihan sulit antara menjaga keluarga atau menyelamatkan anak-anaknya.

Nama-nama lain yang turut mendukung film ini antara lain Monique Henry (Nyi Sukmo), Yan Patroman (Prapto), Iqbal Perdana (Kelik), Aldo Pratama (Kliwon), dan Arthur Tobing (Mbah Mulyo).

Tak hanya cerita yang mencekam, proses produksi film ini juga diliputi pengalaman spiritual yang menggugah. Beberapa aktor, termasuk Samuel Rizal, dikabarkan mengalami kejadian tak terduga saat syuting—menambah lapisan autentik dari atmosfer horor yang diusung film ini.


Horor Sosial dan Tradisi Gelap yang Mengendap

Apa yang membuat Mangku Pocong berbeda dari film horor kebanyakan adalah keberaniannya mengeksplorasi sisi gelap praktik pesugihan dalam konteks sosial dan budaya. Bukan sekadar menakut-nakuti, film ini menyentil fenomena masyarakat yang masih menjadikan kekuatan gaib sebagai jalan pintas kesuksesan.

Dengan pendekatan visual yang realis dan alur cerita yang membangun intensitas dari dalam karakter, Mangku Pocong bukan hanya tontonan, tapi juga bahan renungan: seberapa jauh manusia bisa berdamai dengan masa lalunya?


Tayang 24 April 2025 di Seluruh Bioskop

Mangku Pocong dijadwalkan tayang serentak di bioskop seluruh Indonesia pada 24 April 2025. Film ini diharapkan menjadi gebrakan baru dalam horor lokal yang menggabungkan akar tradisi, drama keluarga, dan elemen supranatural dengan penceritaan yang matang.

Bagi pecinta horor yang mendambakan pengalaman sinematik yang tidak biasa, Mangku Pocong menawarkan lebih dari sekadar ketakutan—ia menghidangkan sebuah cerita tentang luka, warisan, dan harga yang harus dibayar untuk sebuah keberhasilan.


 

ULASAN FILM PINJAM 100 : THE MOVIE

PINJAM 100: THE MOVIE

Produksi: VBS Studios
Produser: Stanley Aaron
Penulis: Charles
Sutradara: Prija Iska Ahmad
Pemeran: Paris Pernandes, Jeremy Sihotang, Bambang Soesatyo, Hansen Vendi Agus, Siti Anggun, David Lie, Fenti Warouw, Shannon Dorothea, Kireina Yuki, Lurus Mardan, Agus Hadsoe, Agus Focus, Prijay Mans, Giovanni Riung, Jeremy Viari, Farhan, Bolang Andi, Stella Vidyasari.


SINOPSIS

Dibuka dengan latar kehidupan sederhana di Binjai, Pinjam 100: The Movie mengisahkan dua sahabat karib — Paris dan Jerstang — yang dihimpit tekanan ekonomi dan kenyataan hidup. Mereka akhirnya memutuskan untuk merantau ke Jakarta, berharap dapat membuka lembaran baru dan menemukan peluang kerja yang lebih menjanjikan.

Namun ibu kota ternyata tak seindah bayangan. Di tengah hiruk-pikuk kota, Paris dan Jerstang justru dihadapkan pada realitas pahit tentang kerasnya hidup di Jakarta — mulai dari kesulitan mencari pekerjaan, bertahan hidup dengan uang pas-pasan, hingga terjerat dalam situasi-situasi konyol dan ironis. Dengan hanya modal tekad, celoteh khas anak Binjai, dan solidaritas persahabatan, keduanya berjuang menghadapi tantangan demi tantangan yang tak pernah mereka duga sebelumnya.


CERITA & NASKAH

Naskah garapan Charles memiliki pondasi kuat dalam membangun narasi "survivor comedy" yang membumi. Dialog-dialog terasa otentik, lugu, tapi mengena, dengan bumbu humor khas Sumatera Utara yang tidak dipaksakan. Struktur ceritanya linear, sederhana, tapi efektif — memperlihatkan progres karakter yang jelas dari kampung ke kota besar.

Beberapa bagian mungkin terasa repetitif atau klise, namun justru di situlah daya tariknya: film ini tidak mencoba menjadi "cerdas" atau kompleks, melainkan jujur dan apa adanya, layaknya kisah anak rantau di dunia nyata.


PENYUTRADARAAN

Prija Iska Ahmad menunjukkan pendekatan yang personal namun ringan. Ia menangkap esensi perjalanan dua anak muda ke Jakarta dengan nuansa komedi slapstick yang tidak murahan. Ritme yang konsisten menjaga penonton tetap engaged, meskipun transisi antar adegan kadang sedikit abrupt. Beberapa adegan dramatis dibangun dengan baik tanpa terkesan sentimentil berlebihan, menandakan sutradara tahu kapan harus melucu dan kapan harus menyentuh.


AKTING

Paris Pernandes dan Jeremy Sihotang tampil penuh energi dan chemistry keduanya sangat kuat, seperti melihat versi lokal Laurel and Hardy masa kini. Paris bermain sebagai karakter dominan yang spontan, sementara Jeremy sebagai sidekick dengan keluguan alami yang mencuri tawa.

Penampilan pendukung seperti Bambang Soesatyo, meski bukan aktor profesional, tampil mencolok sebagai cameo berkarisma yang justru menambah elemen kejutan tersendiri. Fenti Warouw dan Siti Anggun juga memberikan performa yang cukup mencolok dengan gaya bermain yang tidak berlebihan.


ANALISIS KARAKTER

Karakter Paris dan Jerstang dibuat dengan kontras yang proporsional. Paris adalah pemimpi yang impulsif, sedangkan Jerstang adalah realis yang penakut. Keduanya mencerminkan dinamika klasik "otak dan otot", namun dengan pendekatan yang sangat lokal. Kekuatan utama film ini justru pada perkembangan karakter yang tidak dibuat-buat: mereka belajar, gagal, bangkit — dan itu semua terjadi dengan cara yang lucu tapi tetap menyentuh.


TATA ARTISTIK & SINEMATOGRAFI

Visual film ini bukan untuk pamer gaya sinematik, tapi justru efektif menangkap kontras visual antara desa dan kota. Kamera handheld digunakan pada momen-momen chaotic di Jakarta, memperkuat rasa ketidakteraturan hidup urban. Tone warna sedikit overexposed di beberapa bagian, namun secara keseluruhan mendukung kesan “raw” dan realistik.

Set properti seperti kontrakan, warteg, hingga terminal kota digambarkan autentik dan relatable, memperkuat realisme sosial dalam komedi ini.


MUSIK SKORING & TATA SUARA

Musik skor yang digunakan ringan dan berciri khas anak muda. Tak jarang meminjam motif dangdut atau pop koplo, yang justru memperkuat identitas film ini sebagai hiburan rakyat. Tata suara natural dan jernih — percakapan dialek lokal disorot tanpa filter, memberi kedalaman lokalitas yang kuat.


WARDROBE / OUTFIT

Kostum dan penataan busana konsisten menggambarkan kelas sosial tokoh utama. Paris dan Jerstang selalu tampil dalam outfit sederhana — kaus oblong, celana bolong, sandal jepit — namun itu justru memperkuat keaslian karakter. Tidak ada upaya “fashionable”, karena memang bukan dunianya. Busana pendukung lain seperti pekerja jalanan, tukang ojek, hingga satpam tampil wajar dan tidak berlebihan.


TEMA & RELEVANSI SOSIAL

Di balik komedinya, film ini sebenarnya menyentil banyak hal: urbanisasi, ketimpangan ekonomi, tekanan hidup di kota besar, hingga relasi sosial antar perantau. Meskipun tampil jenaka, Pinjam 100 menyimpan lapisan kritik sosial yang halus tapi menggelitik, dan bisa dirasakan oleh siapapun yang pernah “ngontrak, nganggur, dan ngutang” di ibu kota.


KESIMPULAN

Pinjam 100: The Movie adalah komedi urban yang rendah hati namun tinggi makna. Ia bukan film mewah, bukan pula film yang berpretensi. Tapi dalam kesederhanaannya, film ini berhasil menggambarkan realitas kaum marginal dengan jujur, hangat, dan menghibur. Sebuah tontonan yang mengingatkan bahwa dalam hidup yang tak pasti, punya sahabat sejati dan sedikit tawa bisa jadi penyelamat.


NILAI AKHIR: 7.8 / 10

Cocok untuk: Penonton yang ingin hiburan ringan, pecinta film dengan sentuhan lokal, dan mereka yang pernah merantau ke kota besar.


ULASAN FILM KOMANG

 

KOMANG

Produksi: Starvision Plus
Produser: Chand Parwez Servia, Mithu Nisar Riza
Eksekutif Produser: Reza Servia, Raza Servia, Amrit Dido Servia
Sutradara: Naya Anindita
Penulis Naskah: Evelyn Afnilia (diadaptasi dari kisah nyata Raim Laode & Komang Ade Widiandari)
Pemeran Utama: Aurora Ribero, Kiesha Alvaro, Cut Mini, Arie Kriting, Mathias Muchus, Ayu Laksmi, dkk.


SINOPSIS

Komang mengangkat kisah nyata yang sederhana namun menggugah, tentang cinta, kehilangan, dan keteguhan hati. Ceritanya berpusat pada seorang pemuda asal Wakatobi, Laode (diperankan Kiesha Alvaro), yang jatuh hati pada Komang (Aurora Ribero), seorang perempuan Bali yang hidup dalam keterikatan budaya dan keluarga. Di tengah perbedaan latar, bahasa, dan tradisi, keduanya menenun kisah cinta yang tidak hanya manis, namun juga getir dan penuh pertaruhan. Film ini bukan sekadar kisah cinta dua insan, melainkan perjalanan spiritual tentang menerima takdir dan menemukan makna sejati dari pengorbanan.


CERITA & NASKAH

Evelyn Afnilia menghadirkan struktur naskah yang tidak berpretensi menjadi dramatis berlebihan. Ia justru menyulam kisah nyata Raim dan Komang dengan sensitivitas tinggi terhadap budaya lokal dan emosi personal. Dialog yang dihadirkan tidak bombastis, tapi reflektif—mewakili suara-suara batin yang kerap tak terdengar dalam dinamika hubungan antardaerah. Penulisan ceritanya mengalir dengan tempo lambat namun mendalam, menuntut penonton untuk ikut larut, bukan hanya menjadi pengamat.

Kekuatan cerita Komang justru terletak pada keberaniannya mengelola ruang hening, gestur kecil, dan fragmen kehidupan yang seolah biasa, namun penuh makna. Naskah ini berhasil menangkap esensi lokalitas tanpa terjebak pada eksotisme budaya.


PENYUTRADARAAN

Naya Anindita tampil sangat matang dalam pendekatannya kali ini. Ia tidak terjebak pada gaya visual yang heboh atau ritme cepat, melainkan memilih atmosfer yang lebih kontemplatif dan intim. Keberanian untuk memberi ruang pada lanskap emosional, serta ketegangan batin antarkarakter, menunjukkan kematangan gaya penyutradaraan Naya setelah beberapa proyek sebelumnya yang cenderung lebih ringan.

Setiap adegan diarahkan dengan ketelitian yang mengutamakan kejujuran perasaan ketimbang impresi dramatis. Ia tahu kapan harus memperpanjang take untuk menangkap lirih mata Komang, dan kapan memotong dialog untuk menyisakan jeda emosi yang menggetarkan.


AKTING & ANALISIS KARAKTER

Aurora Ribero menampilkan spektrum emosi yang mengesankan. Komang adalah karakter kompleks—terjepit antara tradisi dan keinginan pribadi. Aurora tidak menjadikannya sekadar objek cinta, tapi subjek dengan kegelisahan yang nyata.
Kiesha Alvaro sebagai Laode, memberikan performa paling dewasa sepanjang kariernya. Ia membawa gestur lelaki muda Wakatobi yang penuh ketulusan, namun tetap manusiawi dalam keraguan dan kemarahan.

Penampilan Cut Mini, Mathias Muchus, dan Ayu Laksmi memberikan lapisan pendukung yang sangat kokoh. Mereka tidak hanya pelengkap, tapi pembentuk ekosistem naratif yang membumi. Kehadiran Arie Kriting dan Raim Laode memberikan sentuhan otentik yang kuat, mempertegas akar cerita yang memang berasal dari realitas.


TATA ARTISTIK & SINEMATOGRAFI

Sinematografi film ini adalah puisi visual yang berbicara dengan keheningan. Penata gambar menangkap keindahan Wakatobi dan Bali bukan untuk dijual sebagai destinasi, tapi sebagai ruang hidup yang penuh makna simbolik.
Komposisi warna hangat dengan pencahayaan natural membawa kita menyelami atmosfer ruang personal para tokohnya. Gerakan kamera banyak menggunakan framing statis untuk memperkuat isolasi emosional para karakter, dan terkadang handheld untuk merekam kegetiran yang mendadak.

Desain produksi menghadirkan detail lokal dengan teliti. Setiap interior rumah, pakaian adat, hingga suasana pasar atau pura terasa hidup dan otentik, bukan dekoratif semata.


MUSIK SKORING & TATA SUARA

Musik latar dalam Komang tidak menuntun penonton untuk menangis, tapi menyelinap perlahan ke dalam ruang hati. Skoringnya penuh nada minor dan motif tradisional, dengan penggunaan instrumen etnik yang halus. Raim Laode menyumbangkan komposisi lagu yang menjadi jantung emosional film ini—menguatkan keterhubungan antara realitas dan fiksi.

Tata suara dieksekusi presisi, memanfaatkan ambient sound seperti desir angin laut, nyanyian adat, dan keheningan yang terjaga. Film ini tahu kapan diam lebih menyentuh ketimbang musik yang memaksa.


WARDROBE / OUTFIT

Penata kostum bekerja cermat untuk menampilkan karakter melalui pakaian. Komang dengan kebaya dan kain Bali-nya menjadi representasi dari akar budaya yang mengakar. Sementara Laode dengan kemeja sederhana dan celana panjang lusuh menunjukkan asal-usulnya yang bersahaja. Wardrobe tidak sekadar mendandani karakter, melainkan memperkaya identitas mereka.


TEMA & RELEVANSI SOSIAL

Komang membicarakan cinta lintas budaya tanpa menjerumuskan pada stereotip atau glorifikasi. Ini adalah refleksi atas betapa perbedaan dapat menjadi ladang luka sekaligus penguatan nilai-nilai luhur. Film ini relevan dalam konteks Indonesia hari ini—sebuah negara yang masih belajar mencintai dalam keberagaman yang kadang menyakitkan.

Isu-isu tentang patriarki, tekanan sosial, dan pengorbanan dalam hubungan dipresentasikan dengan subtil tapi menggugah. Komang tidak menawarkan solusi, tapi membuka ruang dialog.


KESIMPULAN

Komang bukan film untuk semua orang. Ia menuntut kesabaran, perenungan, dan hati yang terbuka. Tapi bagi mereka yang bersedia menyelaminya, film ini akan menjadi pengalaman emosional yang langka dan menyentuh hingga ke dasar jiwa. Ia bukan sekadar tontonan, tapi ruang refleksi tentang bagaimana cinta bisa lahir, tumbuh, dan terkadang, harus dilepaskan demi sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.


NILAI AKHIR: 8,7 / 10

Film ini adalah karya yang jujur, berkelas, dan artistik. Naya Anindita berhasil mengangkat kisah nyata Raim dan Komang menjadi sinema penuh makna yang akan tinggal lama dalam ingatan.

ULASAN FILM NORMA: ANTARA MERTUA DAN MENANTU

NORMA: ANTARA MERTUA DAN MENANTU

Produksi: DEE COMPANY
Sutradara: Guntur Soeharjanto
Penulis Skenario: Oka Aurora
Produser: Dheeraj Kalwani, Leesha Kalwani
Pemeran: Tissa Biani, Wulan Guritno, Yusuf Mahardika, Rukman Rosadi, Nunung, Erick Estrada, Naura Hakim, dan lainnya.

08 April 2025

GALA PREMIERE “PINJAM 100 THE MOVIE”: SELEBRASI KISAH DUA PERANTAU DALAM BALUTAN KOMEDI HUMANIS

Jakarta, 7 April 2025 – Satu langkah penting dalam perjalanan Pinjam 100 The Movie resmi dimulai malam tadi lewat perhelatan gala premiere yang berlangsung meriah di Epicentrum XXI, Jakarta. Film yang mengusung nuansa drama-komedi ini menjadi bukti komitmen VBS Studios dalam menghadirkan tontonan yang tak sekadar menghibur, tetapi juga menyentuh dan merefleksikan dinamika sosial yang akrab di tengah masyarakat.

Disutradarai oleh Prija Iska Ahmad, Pinjam 100 The Movie menyorot perjalanan dua sahabat karib asal Binjai—Paris (Paris Pernandes) dan Jerstang (Jeremy Sihotang)—yang hijrah ke Jakarta demi mengejar hidup yang lebih baik. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka harus bergulat dengan kerasnya ibu kota yang seringkali tak ramah bagi para pendatang. Dengan pendekatan yang jenaka namun penuh makna, film ini menggambarkan pertemuan antara mimpi dan kenyataan yang jauh dari ekspektasi.

Gala premiere yang digelar ini dihadiri oleh hampir seluruh jajaran pemain dan kru produksi, termasuk produser Stanley, serta tokoh publik Bambang Soesatyo yang turut berperan dalam film sebagai karakter bernama Bambang. Dalam sambutannya, Bambang Soesatyo, yang turut berperan dalam film ini, menyampaikan bahwa "Pinjam 100 The Movie" membawa pesan penting bagi generasi muda untuk tidak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan hidup. Ia menekankan pentingnya semangat pantang menyerah dan nilai persahabatan dalam meraih impian.


Acara Gala Premiere PINJAM 100 THE MOVIE juga dihadiri oleh tokoh penting industri perfilman Indonesia yaitu Ifan Seventeen, yang kini menjabat sebagai Direktur Utama Perum Produksi Film Negara (PFN).

Kehadiran Ifan Seventeen menjadi sorotan tersendiri, menunjukkan dukungan nyata dari PFN terhadap geliat film nasional yang digagas oleh rumah produksi independen seperti VBS Studios. Dalam kesempatan tersebut, Ifan menyampaikan apresiasinya terhadap karya yang mengangkat kisah autentik perjuangan perantau muda di kota besar melalui pendekatan yang jenaka namun menyentuh.

“Film seperti Pinjam 100 The Movie adalah bentuk cerita rakyat modern yang dibungkus dengan energi baru generasi kreatif. Saya bangga bisa menyaksikan karya seperti ini lahir dari tangan anak bangsa,” ungkap Ifan di sela acara.

Kehadiran Ifan juga memperkuat harapan agar kolaborasi antara sektor kreatif dan institusi negara bisa terus terjalin, menciptakan ekosistem perfilman yang lebih solid dan produktif.

Di atas karpet merah, para aktor dan sineas tampil penuh antusiasme, menyambut hangat para undangan dan rekan media yang memenuhi lokasi acara.

Pinjam 100 bukan sekadar film tentang dua pemuda dari daerah. Ini adalah cermin realitas banyak orang yang berjuang di kota besar, dengan semua lika-likunya,” ujar Prija Iska Ahmad. Ia juga menambahkan bahwa dirinya sengaja menghadirkan karakter-karakter dengan keautentikan tinggi, agar setiap dialog dan adegan terasa jujur serta dekat dengan keseharian penonton.

Film ini tidak hanya ditopang oleh kekuatan cerita, namun juga oleh deretan pemeran pendukung yang memperkaya dinamika plot: Hansen Vendi Agus sebagai Along, Siti Anggun sebagai Anggun, Shannon Dorothea sebagai bos toko branded, serta Fenti Warouw yang memerankan ibu dari Paris. Nama-nama seperti David Lie, Lurus Mardan, hingga Kireina Yuki pun turut meramaikan atmosfer film dengan karakter unik mereka.


Tak kalah menarik, dua lagu tema yang disematkan dalam film ini juga menyempurnakan pengalaman emosional yang ditawarkan. 

Someday” karya Gr Yunk ft Tararin & J Jey


Pinjam 100” yang dilantunkan oleh Gr Yunk bersama Paris Pernandes, Jerstank, dan sang sutradara sendiri, menjadi penguat suasana yang mengalir dalam cerita.


Dibalik layar, kerja kolektif tim produksi juga patut diapresiasi. Nama-nama seperti Iman Samudera (Director of Photography), Muhammad Raju (Komposer), Winki Dimas (Editor), serta tim produksi seperti Agung R Kanvas, Tommi, dan Rauke Muladi berperan besar dalam membentuk narasi visual dan atmosfer film yang utuh.

Dengan jadwal rilis nasional pada 10 April 2025, Pinjam 100 The Movie siap menyambut penonton di layar lebar. Sebuah karya yang bukan hanya menghadirkan gelak tawa, namun juga menyentuh nurani dan menggugah refleksi tentang makna perjuangan di tanah orang.


ULASAN FILM PABRIK GULA

Produksi: MD Pictures & EST Studios
Sutradara: Awi Suryadi
Penulis Skenario: Simpleman & Lele Laila
Produser: Manoj Punjabi & Muhammad Arif
Pemeran Utama: Ersya Aurelia, Arbani Yasiz, Erika Carlina, Bukie B. Mansyur, Wavi Zihan, dan lainnya.


Narasi dan Naskah

Pabrik Gula bukan sekadar film horor, melainkan tafsir sinematik atas trauma kolektif, mitos lokal, dan kecemasan sosial yang dibungkus dalam genre supranatural. Ditulis oleh Simpleman dan Lele Laila, skenarionya mengandalkan kekuatan atmosfer, perlahan membangun rasa takut lewat narasi yang lebih banyak menyiratkan ketimbang menjelaskan. Perpaduan antara realitas dan metafisika dieksekusi dengan hati-hati, menempatkan cerita pada lapisan interpretatif yang luas—sebuah pendekatan yang jarang diangkat dalam horor arus utama Indonesia.

Dialog-dialognya tidak berlebihan, bahkan dalam intensitas emosional, ia tetap menjaga nuansa misterius. Setiap karakter diberi ruang untuk berkembang tanpa membebani durasi, menjadikan cerita tidak sekadar alat pemicu ketakutan, tetapi juga cermin dari luka sosial yang tak kunjung sembuh.


Penyutradaraan

Awi Suryadi, yang dikenal sebagai sineas dengan gaya visual yang kuat, kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam mengorkestrasi dunia yang mencekam namun indah secara sinematik. Ia tidak tergoda untuk mengejar jump scare murahan, melainkan memilih membangun tensi lewat kesunyian, gestur, dan desain suara yang subtil. Keputusannya untuk membiarkan beberapa misteri tidak terjawab justru menguatkan intensitas film, membiarkan penonton merenung lebih dalam.


Sinematografi dan Visual

Secara visual, Pabrik Gula adalah pengalaman yang menghipnotis. Lokasi pabrik tua yang dijadikan pusat cerita bukan hanya latar, melainkan karakter itu sendiri—bernyawa, mengancam, dan penuh bisikan masa lalu. Palet warna dominan gelap dengan semburat kuning pudar dan abu-abu membentuk nuansa melankolis sekaligus menekan.

Sinematografer (yang sayangnya belum disebutkan dalam materi rilis resmi) berhasil merekam keheningan sebagai elemen naratif. Beberapa frame tampak seperti lukisan distopia: tubuh manusia kecil di antara mesin-mesin raksasa yang berkarat, memperkuat metafora akan sistem yang menelan manusia tanpa ampun.


Akting dan Karakterisasi

Ersya Aurelia tampil memukau sebagai protagonis yang rapuh namun tegar. Ia mampu mengkomunikasikan trauma tanpa kata-kata, dengan ekspresi wajah yang tajam namun tidak teatrikal. Arbani Yasiz menampilkan peran pendukung yang kontras namun seimbang, menambah lapisan dinamika antarkarakter. Erika Carlina dan Bukie B. Mansyur juga memberikan performa yang konsisten, menambah kedalaman tanpa mencuri panggung.

Karakter-karakter pendukung seperti yang diperankan oleh Sadana Agung, Dewi Pakis, dan Budi Ros memperkuat kesan lokalitas dan memori kolektif yang kental, menambah keautentikan dunia yang dibangun film ini.


Desain Produksi dan Artistik

Salah satu kekuatan utama film ini terletak pada desain produksinya. Pabrik yang digunakan tidak hanya berfungsi sebagai ruang fisik, tetapi juga sebagai ruang spiritual dan psikologis. Properti, kostum, serta elemen artistik lainnya digunakan untuk membangun kesan realisme magis yang menghantui. Setiap detail visual seperti simbol-simbol mistis, korosi, dan bahkan debu pun terasa memiliki makna naratif.


Musik dan Tata Suara

Skoring dalam Pabrik Gula tidak berupaya mendominasi, melainkan hadir sebagai gema emosi dan atmosfer. Tata suara digunakan secara ekonomis dan cerdas—sepi, desingan mesin, atau bunyi-bunyi samar menjadi lebih mengerikan dari pada dentuman musik horor klise. Perpaduan sound design dan ambient music memperkuat rasa tidak nyaman yang konsisten dari awal hingga akhir.


Wardrobe dan Kostum

Aspek wardrobe dalam Pabrik Gula tampil sebagai penanda penting dari ruang dan waktu, sekaligus menjadi refleksi psikologis para karakternya. Pilihan kostum tidak hanya realistis, tetapi juga simbolik. Tim wardrobe dengan cermat menyelaraskan busana dengan atmosfer pabrik yang usang, sunyi, dan penuh sejarah kelam.

Pakaian yang dikenakan karakter-karakter utama seperti yang diperankan oleh Ersya Aurelia dan Arbani Yasiz mengandung nuansa utilitarian—banyak warna kusam seperti tanah, abu-abu, dan biru pudar—yang mencerminkan hilangnya vitalitas dalam diri mereka. Sementara beberapa tokoh warga lokal mengenakan kain tradisional atau pakaian kerja kasar yang menandai kelas sosial, keterikatan dengan masa lalu, dan hubungan erat dengan lingkungan pabrik.

Kostum para tokoh antagonistik atau yang terhubung langsung dengan elemen supranatural dibuat lebih simbolis: lusuh tapi tidak sembarangan, seperti membawa warisan yang mengandung kutukan. Ini memperkuat kesan bahwa Pabrik Gula bukan sekadar dunia nyata, melainkan ruang mitologis tempat masa lalu dan masa kini saling menekan dan menelan.

Penggunaan tekstur pada kostum—mulai dari bahan yang sudah usang hingga aksesoris kecil seperti saputangan tua, ikat kepala, atau lencana kerja berkarat—menjadi bagian dari storytelling visual yang memperkaya lapisan interpretasi. Setiap sobekan kain seolah memiliki cerita.

Singkatnya, departemen wardrobe berhasil menghidupkan karakter bukan hanya dari sisi luar, melainkan turut mendefinisikan perjalanan batin mereka di tengah dunia yang penuh kekacauan spiritual dan sejarah gelap yang tak terselesaikan.


Kesimpulan

Pabrik Gula bukan hanya film horor biasa. Ia adalah alegori tentang luka sejarah, tentang bagaimana ruang bisa menyimpan ingatan, dan bagaimana manusia menjadi korban dari sistem yang tak kasatmata. Karya ini adalah contoh keberanian sinema Indonesia untuk melangkah ke wilayah tematik yang lebih gelap dan reflektif.

Dukungan produser visioner seperti Manoj Punjabi, kolaborasi penulis dan sutradara yang saling melengkapi, serta penampilan aktor-aktor muda dan senior yang solid, menjadikan Pabrik Gula sebagai salah satu horor Indonesia terbaik dalam satu dekade terakhir—bukan karena berapa banyak penontonnya menjerit, tapi seberapa lama ia tinggal di benak setelah lampu bioskop menyala kembali.

Rate : 8,8 / 10

ULASAN FILM QODRAT 2


Sebuah kelanjutan yang menguatkan sinema horor spiritual Indonesia dengan pencapaian sinematik yang kompleks dan matang.


Sinopsis Singkat


Setelah kejadian traumatis dalam film pertama, Ustaz Qodrat (Vino G. Bastian) kembali dihadapkan pada misi pengusiran setan yang jauh lebih besar, personal, dan berbahaya. Kali ini, benturan batin, masa lalu, dan kekuatan gelap yang berakar dalam tatanan spiritual Indonesia menjadi medan ujian bagi keyakinan dan kekuatan imannya. "Qodrat 2" membawa kisah horor eksorsisme ke level yang lebih epik, eksistensial, dan sinematik.


Skenario & Cerita

Ditulis oleh Gea Rexy, Asaf Antariksa, dan Charles Gozali, Qodrat 2 menampilkan skenario yang matang dan berlapis. Cerita berkembang bukan hanya dari aspek horornya, tapi juga melalui pendalaman karakter dan konflik spiritual yang menggugah. Elemen eksorsisme Islam dikembangkan lebih luas, tidak lagi sekadar ritual pengusiran, tetapi sebagai medium kontemplasi atas trauma, pengampunan, dan ujian iman. Narasi tidak hanya kuat secara tematik, namun juga konsisten dalam membangun tensi dan misteri.


Penyutradaraan

Charles Gozali sekali lagi membuktikan kapasitasnya sebagai sutradara yang tidak hanya menguasai genre horor, tetapi juga mampu mengeksplorasi elemen psikologis dan mistis dalam satu tarikan napas sinematik. Ritme narasi dijaga dengan presisi, transisi emosi ditata dengan cermat, dan pendekatan visual terhadap elemen spiritual terasa subtil namun menghantui. Gozali mengarahkan film ini bukan hanya untuk menakut-nakuti, melainkan untuk meresahkan secara batiniah.


Akting & Pemeranan

Vino G. Bastian tampil dengan intensitas tinggi sebagai Ustaz Qodrat, menunjukkan performa akting yang kompleks—perpaduan antara keteguhan, rasa bersalah, dan krisis batin. Acha Septriasa membawa lapisan emosional yang menyentuh, sementara Donny Alamsyah dan Della Dartyan memberikan kedalaman karakter pendukung yang esensial.

Kehadiran aktor-aktor senior seperti Whani Darmawan dan Cecep Arif Rahman menambah kredibilitas pada dunia spiritual yang dibangun. Penampilan cameo Marsha Timothy dan Randy Pangalila pun terasa tidak sekadar pemanis, melainkan bagian dari narasi besar yang sedang dibangun.


Tata Sinematografi

Penggarapan visual oleh tim sinematografi membawa film ini ke dalam atmosfer yang kelam, namun tetap estetis. Permainan cahaya remang, kabut, dan framing ruang-ruang sakral dikelola dengan baik, menciptakan kesan realisme mistis. Kamera bergerak dengan ritmis mengikuti ketegangan emosional, namun tidak pernah berlebihan dalam menampilkan elemen supranatural—lebih banyak yang disugesti daripada ditampilkan secara vulgar.


Tata Suara dan Musik

Sound design menjadi tulang punggung atmosfer horor film ini. Detil-detil suara dzikir, hembusan napas, dan gemuruh ghaib membangun suasana spiritual yang meresap. Skoring musik menyatu erat dengan narasi emosional, berpindah dari lirih religius ke dentuman horor yang menggetarkan jiwa—menjadi penyambung rasa antara dunia nyata dan yang tak terlihat.


Tata Artistik & Efek Visual

Tata artistik menyuguhkan nuansa lokal yang otentik. Lokasi-lokasi ritual, rumah tua, dan ruang ibadah disusun dengan presisi simbolis. Efek visual digunakan secara selektif dan tidak mendominasi, menjadikannya alat pendukung narasi, bukan penentu ketegangan. Adegan-adegan kerasukan atau manifestasi entitas gaib terasa nyata karena dikombinasikan dengan performa akting fisikal yang meyakinkan dan efek praktikal yang halus.


Tema & Relevansi Sosial

Qodrat 2 tidak hanya berbicara tentang pertempuran melawan setan, tetapi juga tentang pertarungan manusia melawan dosa, rasa bersalah, dan luka masa lalu. Film ini menggali spiritualitas Islam dalam konteks lokal dan kontemporer tanpa jatuh ke dogma. Ia menjadi refleksi tentang bagaimana agama, kepercayaan, dan trauma pribadi bisa saling bertaut dalam momen-momen ekstrem.


Wardrobe & Desain Kostum

Desain kostum dalam Qodrat 2 tidak hanya menjalankan fungsi visual, tetapi juga berbicara dalam bahasa simbolis. Wardrobe yang dikenakan Ustaz Qodrat—dari jubah hitam polos hingga sorban yang terlipat rapi—didesain untuk memancarkan aura keulamaan sekaligus menyimpan kedalaman psikologis karakter. Warna-warna gelap pada kostum Qodrat mencerminkan pergolakan batin dan suasana dunia yang diliputi kegelapan spiritual.

Sementara itu, karakter perempuan seperti yang diperankan oleh Acha Septriasa dan Della Dartyan tampil dalam busana yang sederhana namun kontekstual, mencerminkan kondisi sosial dan latar budaya tempat mereka berada. Nuansa etnik, penggunaan kain lokal, serta tekstur natural yang dibiarkan "kasar" menjadi bagian dari pendekatan realisme magis dalam visual film ini. Para tokoh kerasukan atau yang bersinggungan dengan dunia ghaib tampil dengan kostum yang mencerminkan transisi ke alam bawah sadar: longgar, usang, dan kontras secara palet warna terhadap dunia normal.

Tim wardrobe berhasil membangun visual yang tidak hanya mendukung latar tempat dan waktu, namun juga memperkuat karakterisasi emosional dan spiritual tiap individu.


Filosofi Doa dalam Narasi

Filosofi doa menjadi elemen inti dalam struktur tematik Qodrat 2. Doa bukan hanya alat ritual eksorsisme, tetapi menjadi simbol transformasi dan jalan keluar dari penderitaan batin. Dalam film ini, doa digambarkan sebagai dialog batin terdalam antara manusia dengan Sang Pencipta—terutama saat semua logika telah runtuh, dan hanya iman yang tersisa.

Doa-doa yang diucapkan dalam berbagai adegan tidak hanya bersifat liturgis, tetapi memiliki penekanan dramatik. Pengucapan Ayat Kursi, dan zikir-zikir tertentu dihadirkan dengan jeda, tekanan suara, dan emosi yang terukur—menggambarkan pergulatan antara keyakinan dan rasa takut.


Kesimpulan

Qodrat 2 adalah perluasan naratif dan sinematik dari semesta horor spiritual Indonesia yang tidak hanya berhasil mempertahankan kualitas film pertamanya, tapi juga menawarkan kedalaman emosional dan filosofis yang lebih luas. Film ini adalah pencapaian kolektif dari rumah produksi Magma Entertainment, Rapi Film, Astro Shaw, Caravan Studio, Legacy Pictures, Ideosource Entertainment, Beacon Films, Virtuelines Entertainment. —yang menunjukkan bahwa kolaborasi multinasional dapat menghasilkan karya yang tetap kuat dalam identitas lokal.

Rating: 9 / 10
Film horor spiritual yang bukan hanya mengguncang iman, tapi juga meresahkan nurani.