ULASAN FILM: SAH KATANYA
Produksi: MVP Pictures & Kebon Studio
Sutradara: Loeloe Hendra
Penulis: Sidharta Tata, Dirmawan Hatta, Loeloe Hendra
Pemeran: Nadya Arina, Dimas Anggara, Calvin Jeremy, Della Dartyan, M. N. Qomaruddin, Rahmet Ababil, Landung Simatupang, dan lainnya
SINOPSIS
Dalam Sah Katanya, kita diajak masuk ke dalam dunia Marni (Nadya Arina), seorang perempuan muda yang baru saja kehilangan ayahnya secara mendadak. Namun duka itu belum selesai ketika ia mendapati sebuah permintaan terakhir yang mengejutkan—ia harus menikah di depan jenazah sang ayah dengan lelaki yang telah dipilihkan sebelumnya, Marno (Dimas Anggara). Wasiat itu bukan sekadar simbol tradisi, tetapi satu-satunya jalan menyelamatkan keluarganya dari jerat utang yang besar.
Di tengah tekanan batin, Marni dihadapkan pada pilihan yang mustahil: tetap bersama Adi (Calvin Jeremy), cinta sejatinya, atau berbakti pada ayah dan mempertaruhkan seluruh arah hidupnya demi keluarga. Sebuah keputusan yang memaksa penonton ikut bertanya: antara cinta, kewajiban, dan warisan nilai-nilai, mana yang layak diperjuangkan?
CERITA & NASKAH
Plot Sah Katanya berdiri di atas fondasi yang kuat: konflik klasik antara cinta dan kewajiban, namun disajikan dalam konteks budaya lokal yang khas dan penuh nuansa. Naskahnya tidak hanya berani, tetapi juga cermat—menyentuh ranah moral, tradisi, dan tekanan keluarga tanpa menjadi melodramatis.
Penulis—Sidharta Tata, Dirmawan Hatta, dan Loeloe Hendra—membawa isu besar dengan pendekatan yang intim. Konflik tidak digambarkan sebagai benturan hitam-putih, melainkan abu-abu, kompleks, dan manusiawi. Dialog-dialognya bernas, emosional tanpa kehilangan logika, serta kuat secara simbolik terutama dalam adegan-adegan kunci.
PENYUTRADARAAN
Loeloe Hendra berhasil mengendalikan atmosfer film dengan gaya yang tenang tapi menghantui. Ia memilih untuk tidak membesar-besarkan emosi, namun membiarkannya mengendap lewat ekspresi, gerak tubuh, dan sunyi yang berbicara. Pilihan ritme lambat di beberapa bagian mungkin terasa seperti menguji kesabaran, namun sebetulnya justru memperkuat kesan “tercekik” yang dialami karakter utamanya.
Transisi visual dan tone emosional terasa konsisten, dan ini menunjukkan kematangan dalam penyutradaraan.
AKTING & ANALISIS KARAKTER
Nadya Arina memberikan performa yang sangat kuat sebagai Marni. Ia menampilkan spektrum emosi dengan intensitas terukur, dari kepedihan kehilangan hingga kegamangan antara menyerah atau melawan. Dalam sorot mata dan gestur tubuhnya, kita bisa merasakan seorang perempuan muda yang tertindih oleh keputusan orang lain.
Dimas Anggara sebagai Marno tampil tidak seperti biasanya—lebih pendiam, kaku, namun menyimpan kedalaman, membuat karakternya menjadi teka-teki moral. Sementara Calvin Jeremy sebagai Adi menjadi lambang dari pilihan yang (seolah) lebih mudah tapi tidak realistis, dan ia bermain dengan sangat empatik.
Pemeran pendukung seperti Della Dartyan dan Landung Simatupang turut menambah lapisan emosional film ini dengan sangat solid. Tidak ada karakter yang hadir sebagai tempelan; semuanya berkontribusi pada narasi besar.
SINEMATOGRAFI & TATA ARTISTIK
Visual dalam Sah Katanya memainkan simbolisme dengan apik. Penggunaan warna-warna dingin dan ruang-ruang sempit mempertegas kesan terkurung yang dialami Marni. Kamera cenderung diam, memberi ruang bagi aktor untuk “bernapas” dan menyampaikan narasi secara visual.
Ada beberapa shot yang terasa seperti lukisan—hening tapi penuh tekanan. Pengambilan gambar di sekitar rumah duka hingga ruang pernikahan mendadak memberikan rasa absurd dan tragis yang kuat.
SKOR MUSIK & TATA SUARA
Musik pengiring dalam film ini tidak mendominasi, namun hadir sebagai perasaan latar yang merembes pelan ke bawah kulit. Skoringnya subtil, kadang hanya suara ambient yang memperkuat kehampaan. Tidak banyak musik yang ‘menggiring’ emosi penonton, justru memberi ruang untuk interpretasi personal.
Tata suara juga jernih dan efektif, terutama saat menghadirkan nuansa rumah, malam, dan suasana duka yang menegangkan tapi sunyi.
WARDROBE & PENATAAN BUSANA
Pakaian para karakter terasa autentik, sesuai latar sosial keluarga Marni dan Marno. Tak ada yang berlebihan, justru kekuatan terletak pada kesederhanaan. Gaun pengantin Marni—yang dikenakan dalam momen paling absurd dalam film—menjadi simbol ironis dari janji yang tidak diinginkan, dan kostum ini diolah secara estetis tanpa perlu dramatisasi.
TEMA & RELEVANSI SOSIAL
Sah Katanya adalah komentar tajam tentang bagaimana warisan budaya, tradisi, dan hutang keluarga bisa membelenggu seseorang, terutama perempuan, dalam sistem sosial patriarkis. Film ini bukan sekadar kisah cinta yang kandas, tetapi juga kritik sosial tentang pemaksaan kehendak dalam balutan “wasiat” dan “bakti”.
Film ini mengundang diskusi tentang batas antara menghormati orang tua dan memperjuangkan kendali atas hidup sendiri. Tema ini terasa relevan, khususnya bagi generasi muda yang masih harus bernegosiasi antara modernitas dan tradisi.
KESIMPULAN
Sah Katanya adalah drama sosial yang berani dan emosional, dengan pendekatan sinematik yang tenang namun menghujam. Ia menyampaikan pesan yang kuat tentang cinta, pengorbanan, dan kendali atas hidup sendiri—dengan cara yang puitis tapi tetap membumi.
Dengan penyutradaraan yang rapi, akting yang solid, serta naskah yang penuh refleksi, film ini menawarkan lebih dari sekadar cerita sedih. Ia mengajak penonton berpikir ulang tentang “restu” dan “takdir” dalam ranah rumah tangga dan budaya.
NILAI AKHIR
Aspek | Penilaian |
---|---|
Cerita & Naskah | 8.8 |
Penyutradaraan | 9.0 |
Akting & Karakter | 8.9 |
Sinematografi & Artistik | 8.7 |
Musik & Tata Suara | 8.5 |
Tema & Pesan Sosial | 9.2 |
Total Rata-rata | 8.85 / 10 |