Judul: MUSLIHAT
Produksi: IM Pictures
Produser: Raden Brotoseno, Tata Janeeta, Budi Setiaji Susilo, Bugie
Penulis Skenario: Evelyn Afnilia
Sutradara: Chairun Nissa
Pemeran Utama: Asmara Abigail, Edward Akbar, Tata Janeeta, Ajeng Giona, Ence Bagus, Fatih Unru, Keanu Azka, Athar Barakbah, dkk.
Sinopsis
MUSLIHAT membuka tirai pada konflik interpersonal dalam sebuah keluarga besar yang terjebak dalam labirin warisan, rahasia masa lalu, dan ambisi pribadi. Ketika tokoh sentral, seorang perempuan karismatik dengan masa lalu kelam (diperankan Asmara Abigail), pulang kampung untuk menghadiri peringatan kematian ayahnya, berbagai lapis konflik mulai terkuak—dari kecemburuan saudara, skandal lama, hingga permainan politik internal yang mengejutkan. Film ini menjelajahi batas antara kebenaran dan rekayasa dalam hubungan manusia.
Cerita & Naskah
Evelyn Afnilia membingkai kisah ini dengan lapisan dramatik yang dibangun perlahan namun menghantui. Ia tidak hanya menghadirkan narasi, melainkan mengajak penonton mengupas satu per satu "muslihat" yang tersimpan rapi dalam dialog-dialog tajam dan dinamika antarkarakter yang intens. Naskahnya menolak simplifikasi moral. Setiap karakter memiliki kepentingan, setiap tindakan punya konsekuensi, dan tidak ada yang benar-benar polos ataupun jahat. Ini menjadikan MUSLIHAT lebih dari sekadar drama keluarga—ia menjelma menjadi refleksi kompleksitas manusia itu sendiri.
Penyutradaraan
Chairun Nissa menunjukkan kendali penyutradaraan yang matang. Ia memahami betul tempo emosional yang dibutuhkan film ini—ia tidak tergesa dalam menyampaikan informasi, tapi juga tidak membiarkan ketegangan meredup. Nissa memaksimalkan potensi ruang dan momen senyap untuk membangun suasana yang mendesak. Perpindahan antar adegan terasa organik dan penuh intensi, menunjukkan penataan dramaturgi yang solid dan penuh kehati-hatian.
Akting
Asmara Abigail kembali membuktikan kelasnya. Karakter yang ia mainkan kompleks—rentan, keras kepala, sekaligus penuh pesona manipulatif. Edward Akbar dan Tata Janeeta memberikan kontras menarik sebagai dua kutub karakter yang sama-sama memendam luka lama. Fatih Unru dan Keanu Azka menjadi representasi generasi muda yang terjebak dalam konflik para pendahulu mereka—penampilan mereka menyuntikkan vitalitas pada narasi yang dominan kelam. Ensemble cast-nya seimbang, masing-masing aktor memiliki momen kuat tersendiri, baik dalam adegan dialog maupun gestur-gestur tak bersuara.
Analisis Karakter
Setiap tokoh dalam MUSLIHAT hadir sebagai lapisan puzzle yang perlahan saling mengisi. Evelyn Afnilia tidak menulis karakter hanya sebagai penjalin cerita, melainkan sebagai dunia tersendiri. Hubungan antar karakter dibentuk dari trauma kolektif yang tak diungkapkan secara verbal, tetapi dibaca melalui sikap, reaksi, dan bahkan diam. Karakter utama bukanlah pahlawan, melainkan cermin dari keputusan yang gagal disesali dan cinta yang tak tersampaikan.
Tata Artistik & Sinematografi
Tata artistik film ini sangat memperhitungkan simbolisme. Ruang-ruang dalam rumah tua tempat sebagian besar konflik berlangsung bukan sekadar latar, tetapi metafora hidup—gelap, sempit, penuh barang-barang lama yang menjadi saksi bisu kebusukan relasi keluarga. Sinematografi dari kamera statis hingga gerak lambat dibalut dengan palet warna kusam, menunjukkan beban sejarah yang menindih tiap adegan. Beberapa komposisi gambar layak disejajarkan dengan lukisan renaisans—penuh emosi dan cerita dalam setiap frame.
Musik Skoring & Tata Suara
Musik latar MUSLIHAT bekerja subtil namun efektif, dengan dominasi instrumen gesek dan pukul rendah yang menciptakan atmosfer gelisah tanpa harus dramatis berlebihan. Skoringnya tidak hanya memperkuat emosi, tetapi juga menambah lapisan interpretatif atas narasi. Tata suara juga dieksekusi secara presisi; momen-momen keheningan kadang lebih menegangkan daripada teriakan, menunjukkan bagaimana desain suara film ini berpihak pada pengalaman psikis penonton.
Wardrobe / Outfit
Kostum dalam MUSLIHAT tidak berteriak untuk dikenali, tetapi menyatu dengan karakter. Setiap pakaian mencerminkan status sosial, kondisi psikologis, dan bahkan perkembangan naratif karakter tersebut. Desain wardrobe-nya memperkuat setting dan tone film tanpa kehilangan fungsinya sebagai penanda identitas tokoh—sebuah keseimbangan yang tidak mudah dicapai.
Tema & Relevansi Sosial
MUSLIHAT bukan hanya drama keluarga. Ia adalah kritik sosial terhadap bagaimana trauma generasi bisa diwariskan secara tidak sadar. Tema warisan, kesetaraan gender dalam ruang keluarga patriarkal, dan manipulasi dalam hubungan darah menjadi pokok utama. Di tengah meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental dan rekonsiliasi emosional antar generasi, film ini hadir sangat relevan dan kontemporer.
Kesimpulan
MUSLIHAT adalah drama yang cerdas, tajam, dan memikat secara emosional. Dengan penulisan yang matang, penyutradaraan presisi, dan penampilan akting yang menyentuh, film ini berhasil menjelma menjadi potret kelam keluarga Indonesia dengan lensa humanistik yang dalam. Ia bukan tontonan yang ringan, tapi justru karena itulah ia penting. Film ini mengajak kita menelisik bukan hanya apa yang terlihat, tapi apa yang selama ini disembunyikan.
Nilai Akhir: 8 / 10
Film ini layak mendapat tempat di ranah sinema nasional yang mengedepankan kualitas naratif dan kekuatan sinematik. Sebuah karya yang pantas diperbincangkan, ditonton ulang, dan direnungi.
0 comments:
Posting Komentar